Selasa, 13 Desember 2011

postheadericon PROFIL PENDEKAR MUDA SANCANG BODAS TINGKAT 7


Yendry VH Skom, Pendekar muda ini berasal dari Bakan barong atau di Kp.Krajan Desa Cikampek Utara, Cucu dari pejuang 45 Aba Sudirja ini dari semenjak kecil sudah sering melihat kakeknya berlatih silat jika malam hari, membuat ia cinta pada pencak silat., tahun 1994 Aba Sudirja meninggal dunia ,sehingga menyebabkan ia tak sempat berlatih pencak silat pada kakeknya.ketika SMP  ia mencari padepokan pencak silat di cikampek ,namun ia tidak menemukan padepokan yang mengajarkan silat yang berlatih seperti kakeknya, kondisi pada waktu itu memang pelajaran pelajaran silat masih diberikan rahasia oleh orang orang karawang.yang  menyebabkan ia kesulitan mencari pelatihan pencak silat.yang ia dambakan,ia pun memutuskan  masuk ke perguruan bela diri karate Lemkari(Lembaga Karate Do Indonesia) sekarang menjadi Inkanas (Institut Karate Do Nasional) berpuluh puluh tahun ia belajar karate sudah banyak piagam dan sertifikat yang ia dapatkan,sehingga sampai  pada Ban Hitam.setelah berumur 29 tahun barulah ia menemukan pelatihan pencak silat di kampungnya sendiri melalui temannya maka berlatihlah ia pada wakaja di padepokan pencak silat sancang bodas.ketekunan berlatih penca membuat ia menjadi murid yang dapat melalui tingkatan 7,tingkat yang paling tinggi pada level teknik sempurna.hingga saat ini Bp.Yendry masih aktif melatih di padepokan sancang bodas melestarikan budaya sunda agar tak lekang oleh zaman,”Abdi bangga jadi urang Sunda ,khususna karawang” kata pendekar muda ini.

postheadericon SEJARAH PENCAK SILAT SANCANG BODAS

Sejarah Singkat Padepokan Pencak Silat Sancang Bodas
Padepokan Seni Bela Diri Pencak Silat Sancang Bodas, Berawal dari sebuah hasil olah cipta , rasa dan karsa dari dua orang sahabat ,yaitu seorang alim ulama dan pendekar kanuragan Cikampek karawang yang bernama Aki Widodo bin suharja dan mbah ijun alias ki gajah asal tambun.Sekitar tahun 60 an Aki Widodo bin suharja dan mbah ijun mengajarkan berbagai macam Ilmu Silat dan Kanuragan Sancang Bodas khusus kepada keluarga   dan kepada kerabat atau teman dekatnya sahaja. Mbah ijun mengajarkan ilmu silatnya tersebut pada cucunya yang bernama Kaja, atau biasa dipanggil wakaja atau Amin bunyamin di desa bakan barong cikampek atau kampung krajan,maka berlatihlah wakaja dengan tekunnya pada Mbah ijun sampai pada diberikannya jurus jurus sancang bodas buhun siliwangi,
Baru setelah keduanya meninggal  pada tahun 1980 anak dan cucunya banyak yang saling bertukar pikiran tentang warisan seni beladiri yang diberikan kedua tokoh tersebut.dari keluarga mbah ijun yaitu bunyamin atau kaja yang mendapat olah seni pencak silat sancang bodas lah yang sampai kepada tingkat sempurna.sedangkan dari keluarga Aki widodo bin suharja dua orang yang menguasai seni pencak silat sancang bodas tingkat 5.
Dua orang putra dari anak Aki widodo ini selanjutnya belajar seni pencak silat sancang bodas kepada bunyamin sampai berhasil mendapat tingkat 6 pendekar muda sancang bodas dari tahun 2005 sampai 2010
Pada awal tahun 2011 keluarga dari mbah ijun yang diwakili oleh bunyamin dan keluarga dari Aki widodo bermusyawarah untuk mencapai mufakat .dan hasil dari musyawarah tersebut akhirnya dengan kesadaran melestarikan nilai budaya kesundaan dan warisan leluhur akhirnya disepakati untuk membentuk padepokan pencak silat sancang bodas dan terbuka untuk umum.
Wakaja banyak berlatih pencak silat dari umur 13 tahun,pada waktu kecil wakaja pernah dipukuli dan tidak bisa melawan sampai sampai babak belur,sehingga dengan tekad yang kuat dan restu dari orang tuanya belajar lah ia mencari guru-guru silat untuk membuat dirinya bisa dan mampu menjaga diri sehingga wakaja pada waktu itu mahir mempelajari berbagai macam ilmu penca silat, hanya saja Jurus sancang bodas dari Mbah ijun yang dijadikan senjata andalannya.  sehingga tak kurang dari 15 guru ia serap ilmu pencak silat nya.
Kata Sancang Bodas sendiri berasal dari 2 kata yaitu : Sancang mengandung arti Harimau, sedangkan Bodas berasal dari bahasa Sunda yang mengandung arti Putih atau Suci. Dengan kata lain, seluruh anggota padepokan pencak silat sancang bodas  diharapkan gerakannya serta keberaniannya seperti harimau namun memiliki jiwa yang putih dan bersih.. Padepokan ini memiliki Motto Perguruan “ jalma jago nyaeta jalma anu bener
Atas dasar musyawarah  maka Padepokan Seni Bela Diri Pencak Silat Sancang Bodas diresmikan secara terbuka kepada masyarakat pada tahun 2011 sebagai program sosial dan budaya Yayasan Amil Widodo di rumah kediaman Sesepuh Padepokan yang bernama Amin Wakaja dan para pemuda.  Fungsi pencak silat sancang bodas ini adalah sebagai seni bela diri dan sekaligus kesehatan. Sedangkan, nilai-nilai yang terkandung di dalamnya antara lain adalah: kesabaran, kecermatan dan ketangkasan. Nilai kesabaran tercermin dari penguasaan rasa yang tentunya tidak datang dengan sendirinya, tetapi harus dipelajari segara gigih dan penuh dengan kesabaran. Nilai kecermatan dan ketangkasan tercermin ketika harus melakukan gerakan-gerakan yang benar dan tepat.
Demikian sekelumit sejarah berdirinya Padepokan Seni Bela Diri Pencak Silat Sancang Bodas.Semoga dapat menjadi gambaran dan sedikit tambahan pengetahuan serta ada manfaatnya untuk kita semua. Akhir kata mohon beribu maaf  jika terdapat banyak kekeliruan dalam menguraikan sejarah tersebut.

Para pendekar silat yang tercatat sebagai guru bagi Wakaja antara lain:
1.         Sesepuh Mbah ijun                 - Cikampek
2.         Sesepuh Aki Widodo              - Cikampek
3.         Aki Nimin                               - Merak -Banten (Bandrong)
4.         Kang Andi                              - Bakan barong Cikampek (Bandrong)
5.         Syueb                                     - Cikampek ( Cimande)
6.         Bp Ita                                     - Cikampek ( Godot Karawang)
7.         Bp.Sujai                                  -Daraworong Karawang  
8.         Sutari                                       - Cikampek(Bandrong)
9.         Sutara                                      - Cirebon (Kanuragan)
10.      Jumsin                                      - Cikampek (Kanuragan)
11.       Kandi                                     - Lampung  (Bandrong)
12.       H.Judin                                   - Tanara Banten (Bandrong)
13.       Ki Amin                                  - Kamurang Tirtamulya (Kanuragan)
14.       H.Asep                                   - Pamanukan (Mande)
15.       Suparman                                -Cikampek (Kanuragan)

Rabu, 07 Desember 2011

postheadericon Situs Batujaya Situs tertua : Penemuan Arkeologi Terbesar di Asia

Percandian Batujaya

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas



Candi Jiwa di situs Percandian Batujaya
Kompleks Percandian Batujaya adalah sebuah suatu kompleks sisa-sisa percandian Buddha kuna yang terletak di Kecamatan Batujaya dan Kecamatan Pakisjaya, Kabupaten Karawang, Provinsi Jawa Barat. Situs ini disebut percandian karena terdiri dari sekumpulan candi yang tersebar di beberapa titik.

Lokasi

Situs Batujaya secara administratif terletak di dua wilayah desa, yaitu Desa Segaran, Kecamatan BatujayaTelagajaya, Kecamatan Pakisjaya di Kabupaten Karawang, Jawa Barat. Luas situs Batujaya ini diperkirakan sekitar lima km2. Situs ini terletak di tengah-tengah daerah persawahan dan sebagian di dekat permukiman penduduk dan tidak berada jauh dari garis pantai utara Jawa Barat (Ujung Karawang). Batujaya kurang lebih terletak enam kilometer dari pesisir utara dan sekitar 500 meter di utara Ci Tarum. Keberadaan sungai ini memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap keadaan situs sekarang karen tanah di daerah ini tidak pernah kering sepanjang tahun, baik pada musim kemarau atau pun pada musim hujan. dan Desa
Lokasi percandian ini jika ditempuh menggunakan kendaraan sendiri dan datang dari Jakarta, dapat dicapai dengan mengambil jalan tol Cikampek. Keluar di gerbang tol Karawang Barat dan mengambil jurusan Rengasdengklok. Selanjutnya mengambil jalan ke arah Batujaya di suatu persimpangan. Walaupun jika ditarik garis lurus hanya berjarak sekitar 50 km dari Jakarta, waktu tempuh dapat mencapai tiga jam[1] karena kondisi jalan yang ada.
Situs Batujaya terletak di lokasi yang relatif berdekatan dengan Situs Cibuaya (sekitar 15km di arah timur laut) yang merupakan peninggalan bangunan Hindu dan situs temuan pra-Hindu "kebudayaan Buni" yang diperkirakan berasal dari masa abad pertama Masehi. Kenyataan ini seakan-akan mendukung tulisan Fa Hsien yang menyatakan: "Di Ye-po-ti (Taruma, maksudnya Kerajaan Taruma) jarang ditemukan penganut Buddhisme, tetapi banyak dijumpai brahmana dan orang-orang beragama kotor".[2]
Lokasi candi ini dahulu merupakan danau dan candi dibangun di tepi danau. Danau ini terbentuk akibat beralihnya sungai Citaruum dari arah Utara ke Barat Laut (lihat gambar). Hal ini juga di tandakan dengan nama desa yang ada yaitu Segaran yang berarti Laut atau badan air seperi danau dalam bahasa Sangsekerta dan Telaga Jaya.

Penelitian

Situs Batujaya pertama kali diteliti oleh tim arkeologi Fakultas Sastra Universitas Indonesia (sekarang disebut Fakultas Ilmu Budaya UI) pada tahun 1984 berdasarkan laporan adanya penemuan benda-benda purbakala di sekitar gundukan-gundukan tanah di tengah-tengah sawah. Gundukan-gundukan ini oleh penduduk setempat disebut sebagai onur atau unur dan dikeramatkan oleh warga sekitar. Semenjak awal penelitian dari tahun 1992 sampai dengan tahun 2006 telah ditemukan 31 tapak situs sisa-sisa bangunan. Penamaan tapak-tapak itu mengikuti nama desa tempat suatu tapak berlokasi, seperti Segaran 1, Segaran 2, Telagajaya 1, dan seterusnya.[2]
Sampai pada penelitian tahun 2000 baru 11 buah candi yang diteliti (ekskavasi) dan sampai saat ini masih banyak pertanyaan yang belum terungkap secara pasti mengenai kronologi, sifat keagamaan, bentuk, dan pola percandiannya. Meskipun begitu, dua candi di Situs Batujaya (Batujaya 1 atau Candi Jiwa, dan Batujaya 5 atau Candi Blandongan) telah dipugar dan sedang dipugar.
Ekskavasi dan penelitian dilaksanakan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas) dan dibantu oleh EFEO (École Français d’Extrême-Orient) dan dukungan dana dari Ford Motor Company[3] digunakan untuk kegiatan kajian situs ini.

Bangunan dan temuan-temuan lainnya

Dari segi kualitas, candi di situs Batujaya tidaklah utuh secara umum sebagaimana layaknya sebagian besar bangunan candi. Bangunan-bangunan candi tersebut ditemukan hanya di bagian kaki atau dasar bangunan, kecuali sisa bangunan di situs Candi Blandongan.
Candi-candi yang sebagian besar masih berada di dalam tanah berbentuk gundukan bukit (juga disebut sebagai unur dalam bahasa Sunda dan bahasa Jawa). Ternyata candi-candi ini tidak memperlihatkan ukuran atau ketinggian bangunan yang sama.

Candi Jiwa

Candi yang ditemukan di situs ini seperti candi Jiwa, struktur bagian atasnya menunjukkan bentuk seperti bunga padma (bunga teratai). Pada bagian tengahnya terdapat denah struktur melingkar yang sepertinya adalah bekas stupa atau lapik patung Buddha. Pada candi ini tidak ditemukan tangga, sehingga wujudnya mirip dengan stupa atau arca Buddha di atas bunga teratai yang sedang berbunga mekar dan terapung di atas air. Bentuk seperti ini adalah unik dan belum pernah ditemukan di Indonesia.
Bangunan candi Jiwa tidak terbuat dari batu, namun dari lempengan-lempengan batu bata.
Menurut keterangan penduduk setempat kata jiwa berasal dari sifat unur (gundukan tanah yang mengandung candi) yang dianggap mempunyai "jiwa". Karena beberapa kali kambing diikat diatasnya mati. Sehingga tidak ada hubungan dengan Dewa Syiwa.
Kata "jiwa" sangat dekat dengan nama salahsatu nama dewa dalam agaman Hindu yaitu Dewa Syiwa. Perubahan dari "syiwa" menjadi "jiwa" bisa terjadi karena perjalanan waktu, atau karena aksen Sunda. Barangkali kedekatan kata syiwa dan jiwa bisa dijadikan salah satu objek penelitian meskipun agak aneh jika data yang telah didapat bahwa candi Jiwa lebih kepada Budha daripada Hindu. Di Budha tidak ada dewa Syiwa.

Penanggalan

Berdasarkan analisis radiometri Carbon 14 pada artefak-artefak peninggalan di candi Blandongan, salah satu situs percandian Batujaya, diketahui bahwa kronologi paling tua berasal dari abad ke-2 Masehi dan yang paling muda berasal dari abad ke-12.
Di samping pertanggalan absolut di atas ini, pertanggalan relatif berdasarkan bentuk paleografi tulisan beberapa prasasti yang ditemukan di situs ini dan cara analogi dan tipologi temuan-temuan arkeologi lainnya seperti keramik Cina, gerabah, votive tablet, lepa (pleister), hiasan dan arca-arca stucco dan bangunan bata banyak membantu.

postheadericon Uga Wangsit Siliwangi

Pun, sapun kula jurungkeun
Mukakeun turub mandepun
Nyampeur nu dihandeuleumkeun
Teundeun poho nu baréto
Nu mangkuk di saung butut
Ukireun dina lalangit
Tataheun di jero iga!


Saur Prabu Siliwangi ka balad Pajajaran anu milu mundur dina sateuacana ngahiang : “Lalakon urang ngan nepi ka poé ieu, najan dia kabéhan ka ngaing pada satia! Tapi ngaing henteu meunang mawa dia pipilueun, ngilu hirup jadi balangsak, ngilu rudin bari lapar. Dia mudu marilih, pikeun hirup ka hareupna, supaya engké jagana, jembar senang sugih mukti, bisa ngadegkeun deui Pajajaran! Lain Pajajaran nu kiwari, tapi Pajajaran anu anyar, nu ngadegna digeuingkeun ku obah jaman! Pilih! ngaing moal ngahalang-halang. Sabab pikeun ngaing, hanteu pantes jadi Raja, anu somah sakabéhna, lapar baé jeung balangsak.”


Daréngékeun! Nu dék tetep ngilu jeung ngaing, geura misah ka beulah kidul! Anu hayang balik deui ka dayeuh nu ditinggalkeun, geura misah ka beulah kalér! Anu dék kumawula ka nu keur jaya, geura misah ka beulah wétan! Anu moal milu ka saha-saha, geura misah ka beulah kulon!


Daréngékeun! Dia nu di beulah wétan, masing nyaraho: Kajayaan milu jeung dia! Nya turunan dia nu engkéna bakal maréntah ka dulur jeung ka batur. Tapi masing nyaraho, arinyana bakal kamalinaan. Engkéna bakal aya babalesna. Jig geura narindak!


Dia nu di beulah kulon! Papay ku dia lacak Ki Santang! Sabab engkéna, turunan dia jadi panggeuing ka dulur jeung ka batur. Ka batur urut salembur, ka dulur anu nyorang saayunan ka sakabéh nu rancagé di haténa. Engké jaga, mun tengah peuting, ti gunung Halimun kadéngé sora tutunggulan, tah éta tandana; saturunan dia disambat ku nu dék kawin di Lebak Cawéné. Ulah sina talangké, sabab talaga bakal bedah! Jig geura narindak! Tapi ulah ngalieuk ka tukang!


Dia nu marisah ka beulah kalér, daréngékeun! Dayeuh ku dia moal kasampak. Nu ka sampak ngan ukur tegal baladaheun. Turunan dia, lolobana bakal jadi somah. Mun aya nu jadi pangkat, tapi moal boga kakawasaan. Arinyana engké jaga, bakal ka seundeuhan batur. Loba batur ti nu anggang, tapi batur anu nyusahkeun. Sing waspada!


Sakabéh turunan dia ku ngaing bakal dilanglang. Tapi, ngan di waktu anu perelu. Ngaing bakal datang deui, nulungan nu barutuh, mantuan anu sarusah, tapi ngan nu hadé laku-lampahna. Mun ngaing datang moal kadeuleu; mun ngaing nyarita moal kadéngé. Mémang ngaing bakal datang. Tapi ngan ka nu rancagé haténa, ka nu weruh di semu anu saéstu, anu ngarti kana wangi anu sajati jeung nu surti lantip pikirna, nu hadé laku lampahna. Mun ngaing datang; teu ngarupa teu nyawara, tapi méré céré ku wawangi. Ti mimiti poé ieu, Pajajaran leungit ti alam hirup. Leungit dayeuhna, leungit nagarana. Pajajaran moal ninggalkeun tapak, jaba ti ngaran pikeun nu mapay. Sabab bukti anu kari, bakal réa nu malungkir! Tapi engké jaga bakal aya nu nyoba-nyoba, supaya anu laleungit kapanggih deui. Nya bisa, ngan mapayna kudu maké amparan. Tapi anu marapayna loba nu arieu-aing pang pinterna. Mudu arédan heula.


Engké bakal réa nu kapanggih, sabagian-sabagian. Sabab kaburu dilarang ku nu disebut Raja Panyelang! Aya nu wani ngoréhan terus terus, teu ngahiding ka panglarang; ngoréhan bari ngalawan, ngalawan sabari seuri. Nyaéta budak angon; imahna di birit leuwi, pantona batu satangtungeun, kahieuman ku handeuleum, karimbunan ku hanjuang. Ari ngangonna? Lain kebo lain embé, lain méong lain banténg, tapi kalakay jeung tutunggul. Inyana jongjon ngorehan, ngumpulkeun anu kapanggih. Sabagian disumputkeun, sabab acan wayah ngalalakonkeun. Engke mun geus wayah jeung mangsana, baris loba nu kabuka jeung raréang ménta dilalakonkeun. Tapi, mudu ngalaman loba lalakon, anggeus nyorang: undur jaman datang jaman, saban jaman mawa lalakon. Lilana saban jaman, sarua jeung waktuna nyukma, ngusumah jeung nitis, laju nitis dipinda sukma.


Daréngékeun! Nu kiwari ngamusuhan urang, jaradi rajana ngan bakal nepi mangsa: tanah bugel sisi Cibantaeun dijieun kandang kebo dongkol. Tah di dinya, sanagara bakal jadi sampalan, sampalan kebo barulé, nu diangon ku jalma jangkung nu tutunjuk di alun-alun. Ti harita, raja-raja dibelenggu. Kebo bulé nyekel bubuntut, turunan urang narik waluku, ngan narikna henteu karasa, sabab murah jaman seubeuh hakan.


Ti dinya, waluku ditumpakan kunyuk; laju turunan urang aya nu lilir, tapi lilirna cara nu kara hudang tina ngimpi. Ti nu laleungit, tambah loba nu manggihna. Tapi loba nu pahili, aya kabawa nu lain mudu diala! Turunan urang loba nu hanteu engeuh, yén jaman ganti lalakon ! Ti dinya gehger sanagara. Panto nutup di buburak ku nu ngaranteur pamuka jalan; tapi jalan nu pasingsal!


Nu tutunjuk nyumput jauh; alun-alun jadi suwung, kebo bulé kalalabur; laju sampalan nu diranjah monyét! Turunan urang ngareunah seuri, tapi seuri teu anggeus, sabab kaburu: warung béak ku monyét, sawah béak ku monyét, leuit béak ku monyét, kebon béak ku monyét, sawah béak ku monyét, cawéné rareuneuh ku monyét. Sagala-gala diranjah ku monyét. Turunan urang sieun ku nu niru-niru monyét. Panarat dicekel ku monyet bari diuk dina bubuntut. Walukuna ditarik ku turunan urang keneh. Loba nu paraeh kalaparan. ti dinya, turunan urang ngarep-ngarep pelak jagong, sabari nyanyahoanan maresék caturangga. Hanteu arengeuh, yén jaman geus ganti deui lalakon.


Laju hawar-hawar, ti tungtung sagara kalér ngaguruh ngagulugur, galudra megarkeun endog. Génjlong saamparan jagat! Ari di urang ? Ramé ku nu mangpring. Pangpring sabuluh-buluh gading. Monyét ngumpul ting rumpuyuk. Laju ngamuk turunan urang; ngamukna teu jeung aturan. loba nu paraéh teu boga dosa. Puguh musuh, dijieun batur; puguh batur disebut musuh. Ngadak-ngadak loba nu pangkat nu maréntah cara nu édan, nu bingung tambah baringung; barudak satepak jaradi bapa. nu ngaramuk tambah rosa; ngamukna teu ngilik bulu. Nu barodas dibuburak, nu harideung disieuh-sieuh. Mani sahéng buana urang, sabab nu ngaramuk, henteu beda tina tawon, dipaléngpéng keuna sayangna. Sanusa dijieun jagal. Tapi, kaburu aya nu nyapih; nu nyapihna urang sabrang.


Laju ngadeg deui raja, asalna jalma biasa. Tapi mémang titisan raja. Titisan raja baheula jeung biangna hiji putri pulo Dewata. da puguh titisan raja; raja anyar hésé apes ku rogahala! Ti harita, ganti deui jaman. Ganti jaman ganti lakon! Iraha? Hanteu lila, anggeus témbong bulan ti beurang, disusul kaliwatan ku béntang caang ngagenclang. Di urut nagara urang, ngadeg deui karajaan. Karajaan di jeroeun karajaan jeung rajana lain teureuh Pajajaran.


Laju aya deui raja, tapi raja, raja buta nu ngadegkeun lawang teu beunang dibuka, nangtungkeun panto teu beunang ditutup; nyieun pancuran di tengah jalan, miara heulang dina caringin, da raja buta! Lain buta duruwiksa, tapi buta henteu neuleu, buaya eujeung ajag, ucing garong eujeung monyét ngarowotan somah nu susah. Sakalina aya nu wani ngageuing; nu diporog mah lain satona, tapi jelema anu ngélingan. Mingkin hareup mingkin hareup, loba buta nu baruta, naritah deui nyembah berhala. Laju bubuntut salah nu ngatur, panarat pabeulit dina cacadan; da nu ngawalukuna lain jalma tukang tani. Nya karuhan: taraté hépé sawaréh, kembang kapas hapa buahna; buah paré loba nu teu asup kana aseupan……………………….. Da bonganan, nu ngebonna tukang barohong; nu tanina ngan wungkul jangji; nu palinter loba teuing, ngan pinterna kabalinger.


Ti dinya datang budak janggotan. Datangna sajamang hideung bari nyorén kanéron butut, ngageuingkeun nu keur sasar, ngélingan nu keur paroho. Tapi henteu diwararo! Da pinterna kabalinger, hayang meunang sorangan. Arinyana teu areungeuh, langit anggeus semu beureum, haseup ngebul tina pirunan. Boro-boro dék ngawaro, malah budak nu janggotan, ku arinyana ditéwak diasupkeun ka pangbérokan. Laju arinyana ngawut-ngawut dapur batur, majarkeun néangan musuh; padahal arinyana nyiar-nyiar pimusuheun.


Sing waspada! Sabab engké arinyana, bakal nyaram Pajajaran didongéngkeun. Sabab sarieuneun kanyahoan, saenyana arinyana anu jadi gara-gara sagala jadi dangdarat. Buta-buta nu baruta; mingkin hareup mingkin bedegong, ngaleuwihan kebo bulé. Arinyana teu nyaraho, jaman manusa dikawasaan ku sato!


Jayana buta-buta, hanteu pati lila; tapi, bongan kacarida teuing nyangsara ka somah anu pada ngarep-ngarep caringin reuntas di alun-alun. Buta bakal jaradi wadal, wadal pamolahna sorangan. Iraha mangsana? Engké, mun geus témbong budak angon! Ti dinya loba nu ribut, ti dapur laju salembur, ti lembur jadi sanagara! Nu barodo jaradi gélo marantuan nu garelut, dikokolotan ku budak buncireung! Matakna garelut? Marebutkeun warisan. Nu hawek hayang loba; nu boga hak marénta bagianana. Ngan nu aréling caricing. Arinyana mah ngalalajoan. Tapi kabarérang.


Nu garelut laju rareureuh; laju kakara arengeuh; kabéh gé taya nu meunang bagian. Sabab warisan sakabéh béak, béakna ku nu nyarekel gadéan. Buta-buta laju nyarusup, nu garelut jadi kareueung, sarieuneun ditempuhkeun leungitna nagara. Laju naréangan budak angon, nu saungna di birit leuwi nu pantona batu satangtung, nu dihateup ku handeuleum ditihangan ku hanjuang. Naréanganana budak tumbal. sejana dék marénta tumbal. Tapi, budak angon enggeus euweuh, geus narindak babarengan jeung budak anu janggotan; geus mariang pindah ngababakan, parindah ka Lebak Cawéné!


Nu kasampak ngan kari gagak, keur ngelak dina tutunggul. Daréngékeun! Jaman bakal ganti deui. tapi engké, lamun Gunung Gedé anggeus bitu, disusul ku tujuh gunung. Génjlong deui sajajagat. Urang Sunda disarambat; urang Sunda ngahampura. Hadé deui sakabéhanana. Sanagara sahiji deui. Nusa Jaya, jaya deui; sabab ngadeg ratu adil; ratu adil nu sajati.


Tapi ratu saha? Ti mana asalna éta ratu? Engké ogé dia nyaraho. Ayeuna mah, siar ku dia éta budak angon!


Jig geura narindak! Tapi, ulah ngalieuk ka tukang!

postheadericon JURUS SILAT SANCANG BODAS KARAWANG

Syarat menjadi Calon murid
 Setiap calon murid padepokan pencak silat sancang bodas yang akan mengikuti latihan terlebih dahulu harus menyatakan kesediaannya mematuhi tata cara atau etika perguruan yang sangat dihormati;
Syarat-syaratnya ialah harus melalui rangkaian upacara tradisi seperti puasa selama 3 hari yang dimulai dari hari senin
Selanjutnya membacakan sumpah atau janji (Sahadat buhun sancang)
1. Silih Asah,silih Asih,silih Asuh
2. Jangan melawan kepada kedua orang tua
3. Jangan melawan kepada guru dan pemimpin(pemerintah)
4. Jangan berjudi dan mencuri
5. Jangan ria, takabur dan sombong
6. Jangan berbuat zinah
7. Jangan bohong dan licik
8. Jangan mabuk-mabukan & menghisap madat
9. Jangan suka tidak membayar hutang
10. Harus sopan santun, rendah hati dan saling harga menghargai diantara sesama manusia.
11. Berguru Sancang bodas bukan untuk gagah-gagahan , kesombongan dan ugal-ugalan tetapi untuk mencapai keselamatan di dunia dan akhirat.
Pada hakekatnya sahadat sancang adalah  jiwa/ruh dari pencaknya, tampa sahadat sancang, pencak sancang  yang dipelajari akan kotor dan menjadi malapetaka untuk kehidupan.
Jurus Jurus pencak silat Sancang Bodas
1. LANGKAH SANCANG
a.sancang  puser (inti)
b.sancang  pancer
c.sancang  malik
d.sancang  sila
2. GERAK SANCANG
a.sancang gulung
b.sancang nukang
c.sancang hudang
3. SANCANG GAPURA
a.SANCANG gapura ngeupeul
b.SANCANG gapura muka
4.SANCANG HUAP
a.sancang huap lempeng
b.sancang huap nyiku
c.sancang huap  buntut
5.SANCANG 20
a.  jamparing langit
b. pupu bayu wirasaba
c. gampar kali jep sancang
d. genta buana
e.  .......
f.   .......dst
6. SANCANG SILIWANGI
a. Buhun Siliwangi
b. Sancang Alif
c. Sancang Liuk
d. sancang jembar
e. sancang siwa
f. taraju sancang
g. sancang panjalu
h. sancang kilat
i. sancang duriat
j. sancang pajajaran
Senin, 05 Desember 2011

postheadericon pencak silat sancang bodas karawang


Entri Populer

Arsip Blog

STAT

17397